KEBAJIKAN (De 德) - dalam Tradisi Tionghoa, bulan 7 Tanggal 15 menurut Penanggalan Imlek dirayakan sebagai Festival Zhong Yuan
Jie (中元节) atau Chit Gwee Pua (Bahasa Hokkien) adalah merupakan hari di
mana orang Tionghoa akan mengadakan sembahyang pada arwah leluhur dan
arwah-arwah yang berada disekitar mereka yang merupakan sebuah tradisi
perayaan dalam kebudayaan Tionghoa.
Bulan 7 dalam penanggalan Tionghoa lebih dikenal dengan istilah Bulan
hantu. Ada sebuah kepercayaan di mana dalam kurun waktu 1 bulan ini,
Pintu Gerbang Neraka dibuka bebas sehingga arwah-arwah yang mendiami
alam baka sana bebas keluar untuk masuk ke alam dunia manusia,
mengunjungi keluarga dan kerabat mereka yang masih hidup.
Di
Indonesia, karena adanya kepercayaan semacam itu, maka di bulan ini
takhyul dan mitos seakan disebar di mana-mana. Para orangtua akan
mewanti-wanti anak mereka agar tidak mandi atau makan terlalu malam, dan
berkeliaran sembarangan apalagi di malam hari, karena khawatir arwah
jahat bisa saja mencelakai mereka
Bagi yang ingin melakukan
sesuatu yang penting, seperti pindah rumah atau memulai usaha, juga
dianjurkan untuk tidak melakukannya selama bulan ini karena diyakini
akan mengalami kesialan atau kegagalan, dan dipercaya
peristiwa-peristiwa baik dan menggembirakan yang dilaksanakan di bulan
“hantu” akan mendatangkan kesialan.
Namun pengaruh religius
terutama dari Buddhisme menjadikan tradisi perayaan ini sarat dengan
mitologi tentang hantu-hantu kelaparan yang perlu dijamu pada masa
kehadiran mereka di dunia manusia.
Puncaknya adalah di tanggal
15. Di hari puncaknya, biasanya diadakan upacara sembahyang di rumah di
tiap keluarga. Beberapa dari mereka akan menyiapkan barang-barang untuk
dibakar seperti lilin, dupa/hio, hingga uang kertas alam baka, pakaian,
dan barang-barang lainnya yang tentu saja dikhususkan untuk orang mati.
Karena ada kepercayaan hantu-hantu kelaparan akan keluar dari dunianya,
maka biasanya di tiap-tiap keluarga akan menghidangkan makanan di
rumahnya masing-masing untuk menyambut arwah keluarga mereka yang
kelaparan.
Di samping itu, biasanya di sudut-sudut jalanan
terdapat beberapa sesajen, lilin, hio, atau uang kertas yang konon juga
dipersembahkan untuk hantu-hantu kelaparan yang sudah tidak memiliki
keluarga di dunia ini.
Di beberapa kota Indonesia, masih bisa
dijumpai perayaan umat Konghucu di kelenteng yang namanya, “Sembahyang
Rebutan“. Jadi warga Tionghoa, akan membawa persembahan-persembahan ke
kelenteng yang dikumpulkan jadi satu, disusun “mbukit” dan setelah
prosesi doa, persembahan-persembahan itu akan direbut oleh umat yang
hadir, dan dipercaya makanan itu akan membawa berkah bagi yang
mengkonsumsinya.
Sementara itu, di beberapa negara lain, Festival
Hantu Lapar sering dirayakan besar-besaran dan menjadi bagian dari
“menu” pariwisata yang layak untuk dicicipi wisatawan karena pertengahan
bulan ke-tujuh merupakan waktu di mana festival diadakan untuk
merayakannya. Di Singapura, atau Hong Kong, mereka mengenalnya dengan
Hungry Ghost Festival (Festival Hantu Lapar).
Kemudian yang
menjadi kebiasaan warga Tionghoa juga adalah adanya “persembahan” untuk
arwah-arwah itu. Biasanya mereka semua akan keluar rumah untuk merayakan
festival tersebut. Dari jam 6 sore, di depan rumah warga Tionghoa
biasanya sudah tampak beberapa sesajian, termasuk lilin, hio dan uang
kertas.
Pemandangan yang semakin menambah kentalnya nuansa
mistis di jalanan. Membakar hio untuk mendoakan arwah leluhur mereka,
membakar dan menerbangkan lentera ke langit sebagai ungkapan mengirim
doa untuk mereka yang sudah meninggal.
Yang lainnya ada juga
yang mengungkapkan pesannya dengan mengapungkan perahu-perahu kertas di
air. Konon jika perahu itu mengapung lama dan sampai di pinggiran pantai
yang lainnya, maka itu berarti arwah leluhur mereka telah menjadi
makhluk yang abadi (berada di dunia yang baik).
Sebenarnya ada
beberapa cerita dan legenda yang melatarbelakangi ritual Zhong Yuan Jie,
Ulambana atau Ghost Hungry Festival yang diadakan di seluruh dunia.
Kebanyakan dari mereka berasal dari ajaran Kong Hu Cu, Buddha, atau
legenda-legenda lainnya.
Tradisi ini sebenarnya merupakan produk
masyarakat agraris di zaman dahulu yang bermula dari penghormatan
kepada leluhur serta Dewa-Dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim
gugur atau di masa-masa pertengahan bulan ke-tujuh, yang merupakan
saat-saat menyambut masa panen dapat terberkati dan berlimpah.
Maka di bulan itulah, biasanya mereka berdoa kepada Dewa-Dewa serta
meminta dukungan leluhur mereka agar panen mereka bisa berlimpah,
sekaligus memberi penghormatan kepada arwah leluhur.
Salam kebajikan
Di Salin dari Facebook yang dibagikan oleh Akun Perlengkapan Sembahyang